DPRD Banten: Tunjangan Perumahan Rp 49,8 Juta, Kemiskinan 5,63%, sebuah Kontradiksi Demokrasi

DPRD Banten: Tunjangan Perumahan Rp 49,8 Juta, Kemiskinan 5,63%, sebuah Kontradiksi Demokrasi

Oleh: Laurens Dami

Mediaganas.id – Di tengah upaya pemerintah daerah menekan angka kemiskinan dan meningkatkan kualitas layanan publik, publik Banten digegerkan oleh penetapan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 31 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Pergub Nomor 37 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Perda Provinsi Banten Nomor 4 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Adminiatratif Pimpinan dan Anggota DPRD Provinsi Banten.

Pergub Nomor 31 Tahun 2024 ini, ditetapkan di Serang, 31 Desember 2024 dan ditandatangani oleh Pj Gubernur Banten A. Damenta.

Aturan ini, menetapkan besaran tunjangan baru bagi pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten, khususnya tunjangan perumahan yang nilainya mencapai puluhan juta rupiah per bulan.

Dalam Pergub tersebut, seorang Ketua DPRD memperoleh Rp 49,8 juta per bulan hanya untuk tunjangan perumahan. Wakil Ketua memperoleh Rp 45,6 juta per bulan, sementara setiap anggota memperoleh Rp 43 juta per bulan.

Angka-angka ini, menimbulkan pro-kontra. Di satu sisi, kebijakan ini sah secara hukum karena mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD. Namun di sisi lain, publik mempertanyakan kepatutan moral dari kebijakan ini, mengingat masih terdapat 772 ribu jiwa penduduk miskin di Provinsi Banten pada Maret 2025 (5,63% dari total penduduk).

Kita akan mengurai kebijakan Pergub 31/2024 dalam tiga perspektif: legalitas, legitimasi, dan keadilan sosial. Dengan mengacu pada data resmi Badan Pusat Statistik (BPS), Undang-Undang dan PP, serta analisis kritis keuangan publik, tulisan ini menegaskan bahwa persoalan tunjangan DPRD Banten bukan sekadar soal angka, melainkan simbol kesenjangan demokrasi di tingkat daerah.

Landasan Hukum

Dasar hukum tunjangan DPRD berawal dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menempatkan DPRD sebagai lembaga legislatif daerah dengan tiga fungsi utama: legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Untuk menunjang fungsi ini, pemerintah pusat menetapkan PP Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD.

PP ini mengatur hak-hak keuangan DPRD, antara lain: uang representasi, tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, tunjangan alat kelengkapan, tunjangan perumahan, tunjangan transportasi, tunjangan komunikasi intensif, uang reses, serta fasilitas penunjang lainnya.

Namun PP hanya memberi kerangka umum. Besaran riil tunjangan diserahkan pada daerah, dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dan standar harga lokal.

Berdasarkan kewenangan ini, Gubernur Banten menetapkan Pergub Nomor 37 Tahun 2022, yang kemudian direvisi melalui Pergub Nomor 31 Tahun 2024. Pergub terbaru inilah yang menaikkan tunjangan perumahan DPRD Banten ke level puluhan juta rupiah per bulan.

Isi Pergub 31 Tahun 2024: Rincian Tunjangan DPRD Banten. Dalam Pergub 31/2024, tercantum besaran tunjangan perumahan:

  • Ketua DPRD: Rp 49.800.000 per bulan
  • Wakil Ketua DPRD: Rp 45.600.000 per bulan
  • Anggota DPRD: Rp 43.000.000 per bulan

Selain itu, DPRD Banten juga menerima tunjangan lainnya (mengacu pada Pergub 37/2022 dan tetap berlaku dalam Pergub 31/2024):

  • Tunjangan Jabatan: Ketua ± Rp 4,3 juta; Wakil Ketua ± Rp 3,4 juta; Anggota ± Rp 3,2 juta.
  • Tunjangan Representasi: Ketua ± Rp 3 juta; Wakil Ketua ± Rp 2,4 juta; Anggota ± Rp 2,25 juta.
  • Tunjangan Komunikasi Intensif: sekitar Rp 21 juta per bulan per anggota.
  • Tunjangan Reses: ± Rp 21 juta per masa reses.
  • Tunjangan Beras: sekitar Rp 289 ribu per bulan per anggota.
  • Fasilitas Pajak Ditanggung APBD: PPh atas tunjangan tertentu ditanggung oleh pemerintah daerah.

Jika dihitung total, seorang Ketua DPRD bisa memperoleh lebih dari Rp 80 juta per bulan dari berbagai komponen tunjangan. Dengan 100 anggota DPRD Banten periode 2024–2024, beban anggaran untuk tunjangan DPRD mencapai ratusan miliar rupiah per tahun.

Data Kemiskinan di Banten 2025: Realitas Sosial yang Kontras

Berdasarkan publikasi resmi BPS Provinsi Banten (Maret 2025): jumlah penduduk miskin: 772.780 orang. Persentase penduduk miskin: 5,63%. Garis kemiskinan per kapita: Rp 684.232 per orang per bulan.

Garis kemiskinan rata-rata rumah tangga miskin: Rp 3.571.692 per bulan (dengan rata-rata 5,22 anggota rumah tangga miskin).

Sementara itu, UMP Banten 2025 ditetapkan sebesar Rp 2.905.119,90 per bulan.

Data ini menyingkap jurang ketimpangan. Jika dibandingkan: Tunjangan perumahan Ketua DPRD (Rp 49,8 juta/bulan) setara dengan kebutuhan hidup 72,8 orang miskin per bulan (49.800.000 ÷ 684.232).

Wakil Ketua (Rp 45,6 juta) setara dengan kebutuhan 66,6 orang miskin.

Anggota DPRD (Rp 43 juta) setara dengan kebutuhan 62,9 orang miskin.

Lebih ironis lagi, tunjangan perumahan Ketua DPRD setara dengan 17 kali lipat UMP Banten 2025.

Legalitas, Legitimasi, dan Opportunity Cost

Pergub 31/2024 sah secara hukum karena turunan PP 18/2017. Namun legalitas tidak otomatis berarti legitimasi moral. Dalam etika politik, kebijakan publik harus diuji dari segi keadilan distributif.

Jika 100 anggota DPRD Banten menerima tunjangan perumahan sesuai Pergub 31/2024, beban anggaran tahunan hanya untuk komponen ini saja mencapai: Rp 43 juta × 95 anggota + Rp 45,6 juta × 4 Wakil Ketua + Rp 49,8 juta × 1 Ketua = Rp 4,3 miliar per bulan, atau sekitar Rp 51,6 miliar per tahun.

Dana sebesar ini, jika dialokasikan ke program bantuan sosial, bisa memberi bantuan Rp 667.000 kepada lebih dari 77 ribu penduduk miskin setiap bulannya.

Ketidakjelasan Kinerja DPRD

Tidak ada mekanisme yang mengaitkan besaran tunjangan dengan capaian kinerja. Padahal DPRD Banten kerap dikritik karena minim legislasi substantif dan lemahnya fungsi pengawasan.

Dengan UMP Rp 2,9 juta, buruh di Banten harus bekerja lebih dari 17 bulan untuk menyamai satu bulan tunjangan perumahan Ketua DPRD.

Demokrasi yang Menyisakan Ironi

Kenaikan tunjangan DPRD Banten dalam Pergub 31/2024 adalah cermin paradoks demokrasi Indonesia: wakil rakyat mendapatkan fasilitas yang terus meningkat, sementara rakyat yang diwakilinya masih berjibaku dengan kemiskinan struktural.

Dalam teori politik, demokrasi perwakilan menuntut adanya kesetaraan moral antara rakyat dan wakilnya. Namun, dengan jarak kesejahteraan yang demikian lebar, sulit membayangkan DPRD benar-benar menjadi cermin penderitaan rakyat. Alih-alih, ia tampak sebagai klub eksklusif politikus dengan privilese tinggi.

Rekomendasi Kebijakan

Pertama, revisi formula tunjangan. Tunjangan DPRD sebaiknya berbasis formula transparan: indeks kemampuan fiskal daerah + indeks kemiskinan + indeks harga lokal.

Kedua, kaitkan tunjangan dengan kinerja. Besaran tunjangan harus dikaitkan dengan capaian legislasi, kualitas pengawasan, dan tingkat kehadiran anggota DPRD.

Ketiga, transparansi anggaran. Setiap Pergub yang mengatur tunjangan wajib disertai dengan analisis biaya, manfaat serta konsultasi publik.

Keempat, prioritas anggaran prorakyat. Sebagian anggaran tunjangan sebaiknya dialihkan untuk program pengentasan kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan.

Pergub 31 Tahun 2024 sah secara hukum, tetapi problematik secara sosial dan moral. Dengan jumlah penduduk miskin lebih dari 772 ribu jiwa dan UMP hanya Rp 2,9 juta, tunjangan perumahan DPRD sebesar Rp 49,8 juta per bulan jelas mencerminkan jurang kesenjangan antara elite dan rakyat.

Legalitas mungkin terjamin, tetapi legitimasi moral demokrasi dipertaruhkan. Demokrasi yang sejati seharusnya mengutamakan keadilan distributif dan kepekaan sosial, bukan sekadar kenyamanan elit politik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *